Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kasus pelesiran terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus HP Tambunan dan joki napi di LP Bojonegoro menjadi catatan buram system manajemen rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.ICW mencatat kedua kasus itu bukan modus baru. Sedikitnya terdapat lima modus yang disinyalir terjadi di tahanan, mulai dari suap hingga penggunaan napi penggganti atau joki. Berikut lima jenis modus yang terjadi di tahanan, yakni :
Pertama, pemberian perlakuan dan fasilitas khusus selama dalam tahanan. Dengan membayar sejumlah uang, seorang napi dapat memperoleh perlakuan atau fasilitas yang berbeda dengan napi yang lain. Napi bisa memilih ingin ditempatkan dipenjara yang disukainya. Napi juga dapat meminta fasilitas khusus, misalnya sel tersendiri yang terpisah dengan napi lain mendapatkan makanan dan minuman yang bergizi, peralatan elektronik, hiburan dan lain sebagainya.
“Jika disepakati bahkan ruangan sel juga dapat disulap menjadi kantor sementara dari napi yang notabane seorang pengusaha,” ujarnya.
Modus Kedua, pemberian izin keluar dari penjara. Pada dasarnya napi memiliki hak keluar dari penjara, misalnya untuk berobat atau cuti mengunjungi keluarga.
Namun prosedurnya harus ada ijin yang diberikan oleh Kepala Lapas dan Kakanwil Departemen Hukum dan HAM.
Namun hak-hak tersebut seringkali disalahgunakan. Contoh, mantan Panitera PT DKI Ramadhan Rizal, terpidana korupsi dalam psta narkoba disebuah hotel kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada 27 Agustus 2006 lalu. Padahal seharusnya, Ramadhan Rizal menjalani jukuman di Lapas Cipinang. Modusnya, Ia beralasan sakit dan menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto.
“Kasus serupa dapat dilihat terhadap Corby, napi dalam kasus narkotika asal Australia yang diberitakan keluar dari LP Krobokan untuk jalan-jalan. Modus yang dipakai sangat klasik, yakni sakit dan menurut dokter dikatakan depresi. Dengan alasan itu, Corby bisa menikmati fasilitas mewah rapat inap di RS Sanglah dengan biaya kamar Rp 1,2 juta per malam plus jalan-jalan,” paparnya.
Modus Ketiga, pemberian pengurangan hukuman (remisi). Salah satu jalan cepat yang dapat digunakan oleh napi agar segera menghirup udara bebas adalah melalui pemberian remisi. Remisi merupakan salah satu hak narapidana sebagaimana diatur dalam UU Permasyarakatan. Jika seorang napi berkelakuan baik selama dipenjara maka yang bersangkutan dapat diberikan remisi.
Pemberian remisi sangat tergantung dari penilaian subyektif kalangan petugas atau kepala penjara. Hal menjadi sangat rentan disalahgunakan dan menjadi komoditas antara oknum petugas napi yang berduit.
"Berkelakuan baik diterjemahkan sebagai 'tindakan napi memperlakukan petugas dengan baik' misalnya memberikan sejumlah uang atau barang. Akibatnya sering terjadi ketimpangan jumlah remisi antara satu napi dengan napi lainnya. Napi yang berduit umumnya memiliki remisi yang lebih banyak daripada napi dari golongan miskin," urainya.
Modus keempat, pungutan untuk tamu atau pengunjung. Ketika ada keluarga atau tamu ingin mengunjugi napi dipenjara ternyata ada pungutan tidak resmi yang seolah-olah telah terstandarisasi. Untuk sekali kunjungan, tamu yang akan mengunjungi sanak saudaranya dalam penjara dikenakan biaya antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu rupiah.
Petugas maupun napi binaan juga sering mengutip uang terutama bagi mereka yang diketahui telah menerima sejumlah uang dari sanak saudaranya. Tamu juga dapat mengunjungi napi di kamar penjara dan tanpa terikat jam kunjungan, dengan membayar sejumlah uang suap yang lebih besar.
Kelima, pengunaan narapidana pengganti (stuntman) atau joki narapidana untuk menjalani hukuman. Kalau negosiasi sejak penyidikan lancar, terdakwa tidak hanya absen dari sidang di pengadilan. Bahkan tempatnya di penjara jika dihukum juga bisa digantikan oleh orang lain atau stuntman.
"Tentu saja, sang stuntman telah mengubah identitas sehingga secara formal identitasnya sama dengan terdakwa. Napi yang asli cukup membayar bulanan dan menjamin kebutuhan stuntman selama dipenjara," tambahnya.
"Keterbatasan, ketidaknyamanan, dan lemahnya pengawasan serta rendahnya kesejahteraan para petugas lapas dan integritas yang buruk dinilai menjadi faktor pendorong masih maraknya korupsi di penjara hingga saat ini. Akibat praktek korupsi, istilah penjara sebagai Hotel *Prodeo* (gratis) sudah tidak tepat dalam kondisi saat ini. Karena tidak ada yang gratis selama dipenjara dan muncul adagium 'sepanjang ada uang semuanya bisa diatur'," tutupnya. (Sumber: DT/RDR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar