TRIBUNPONTIANAK/MARLEN
Ilustrasi - Personil tari dari Sanggar Darma Indah Seni (DIS) Sanggau, melakukan tarian kolosal di lapangan sepak bola Keuskupan Sanggau, pertanda dimulainya Gawai Dayak Kabupaten Sanggau.
Ilustrasi - Personil tari dari Sanggar Darma Indah Seni (DIS) Sanggau, melakukan tarian kolosal di lapangan sepak bola Keuskupan Sanggau, pertanda dimulainya Gawai Dayak Kabupaten Sanggau.
PONTIANAK, TRIBUN - Tokoh masyarakat Dayak Kalbar, Thadeus Yus, meminta sosiolog Universitas Indonesia Prof Dr Thamrin Amal Tamagola mengklarifikasi pernyataannya terkait masyarakat Dayak, yang diungkapkan saat menjadi saksi kasus video asusila Nasriel Irham alias Ariel Peterpan.
"Pernyataan Pak Thamrin itu melukai perasaan orang Dayak dan sangat bertentangan dengan kenyataannya. Jadi, kami minta Pak Thamrin mengklarifikasi dan meminta maaf kepada masyarakat Dayak. Jika tidak, kami akan membawa masalah ini ke ranah hukum," ujar Thadeus di Pontianak, Rabu (5/1).
Thamrin hadir dalam sidang Ariel, Kamis 3 Desember 2010. Seusai memberikan keterangan sebagai saksi ahli, kepada wartawan Thamrin menyatakan, video porno dengan pemeran mirip Ariel tidak meresahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Menurutnya, sebagian masyarakat Indonesia menganggap hal itu biasa.
"Di Indonesia itu ada 653 suku bangsa. Sebagiannya menganggap biasa," katanya. Ia mengatakan, contoh masyarakat yang tidak resah terhadap video tersebut adalah masyarakat suku Dayak, sejumlah masyarakat Bali, Mentawai, dan masyarakat Papua.
"Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks," katanya.
Thadeus mengatakan, pernyataan Thamrin bahwa bersenggama tanpa diikat perkawinan sebagai hal biasa bagi masyarakat Dayak, menyinggung perasaan dan tidak sesuai dengan kenyataannya.
"Dalam kenyataannya di masyarakat Dayak, seorang pria dan wanita yang belum menikah jika duduk berdekatan atau bermesraan di tempat sepi, bisa kena hukum adat. Seks bebas justru sangat tabu sekali bagi masyarakat Dayak," tegas Thadeus.
Menurut Thadeus, jika memang benar bahwa pernyataan Thamrin itu merupakan hasil penelitian, maka ia harus menyebutkan kapan penelitian itu dan di mana dilakukan.
"Kami ingin tahu seperti apa penelitiannya dan apakah dia sudah benar menarik kesimpulan. Kami siap beradu argumen untuk mengecek kesahihan hasil penelitiannya. Kita juga akan cross check dengan masyarakat Bali, Mentawai, dan Papua yang disebutkannya," kata Thadeus.
Hal serupa diutarakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Kalbar, Erma Suryani Ranik. Ia mengaku sangat kecewa dengan pernyataan Thamrin tentang tradisi suku Dayak yang mempraktikkan seks bebas.
"Pernyataan tersebut melukai hati kami sebagai orang Dayak. Dan, sangat disayangkan keluar dari mulut seorang profesor. Saya menuntut Prof Thamrin menyebutkan judul penelitiannya dan kapan penelitian itu dilakukan. Jika tidak terbukti, saya akan mendorong agar Thamrin dijatuhi hukuman adat karena berbicara dusta," kata Erma.
Aksi di Jakarta
Sejumlah masyarakat Dayak di Jakarta menyatakan akan menggelar aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia, Sabtu (8/1) sekitar pukul 11.00 WIB.
Kordinator lapangan aksi damai, Yohansen, yang dihubungi melalui telepon selulernya, mengatakan, sekitar 100 masyarakat Dayak yang sebagian besar pemuda dan pelajar akan berdemo. Mereka akan menggunakan pakaian adat yang didominasi warna merah.
Para mahsiswa dan pelajar juga sudah mendapatkan dukungan dari DAD Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Yohansen mengatakan, ada tiga tuntutan yang akan dibacakan dalam aksi damai tersebut. "Kami minta Thamrin Amal Tomagola mempublikasikan hasil penelitian tentang masyarakat Dayak berkaitan dengan statement-nya," kata Yohansen.
Tuntutan lain, meminta Thamrin meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak secara terbuka melalui media massa. Selanjutnya, meminta lembaga Dayak seperti Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dan Dewan Adat Dayak (DAD) membawa kasus ini ke jalur hukum.
Tak Menyamaratakan
Menanggapi hal tersebut, Thamrin yang dihubungi Kompas.com, Rabu, menjelaskan, apa yang disampaikannya bukan bermaksud menyamaratakan semua suku Dayak. "Saya sebutkan detail di pengadilan dalam penjelasan selama satu jam lebih bahwa itu hasil penelitian saya terhadap beberapa suku di Indonesia. Bukan menyamaratakan," katanya.
"Poin saya (dalam sidang) adalah memperlihatkan keanekaragaman dan kemajemukan serta toleransi. Saya sampaikan bahwa UU Pornografi akan kesulitan karena menghadapi budaya yang berbeda-beda. Saat menjelaskan keanekaragaman itu saya sampai pada contoh, antara lain menyebut penelitian saya terhadap beberapa suku Papua dan Dayak," jelas Thamrin.
Selain itu, menurut Thamrin, apa yang dinyatakan di pengadilan sebenarnya bukan konsumsi publik, tapi untuk forum yang khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar