SEHARI menjelang aksi damai masyarakat Dayak di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Sabtu (8/1) ini, Prof Dr Tamrin Amal Tomagola, meminta maaf kepada segenap masyarakat Dayak dan masyarakat adat Nusantara.
Permintaan maaf pakar sosiologi itu dilansir Sekjen Aksi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan melalui milis adatlist@yahoogroups.com. Intinya, Tamrin menilai pernyataannya di luar sidang kasus video porno Ariel "Peterpan," Kamis 30 Desember 2010, out of context.
Guru Besar FISIP Universitas Indonesia itu mengaku tak sempat menjelaskan secara detil, seperti saat menjadi saksi ahli meringankan di persidangan Ariel kepada pers. Penjelasan video porno Ariel yang tak meresahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia pun menimbulkan salah persepsi.
Pernyataan bahwa sebagian masyarakat dari 653 suku di Indonesia yang tak resah video porno, memantik masalah saat Tamrin memberi contoh Suku Dayak, Bali, Mentawai dan Papua Selatan. Contoh didasarkan hasil penelitian kualitatifnya saat menjadi konsultan Departemen Transmigrasi 1982-1983.
Berpijak wawancara mendalam terhadap 10 ibu berusia subur sebagai informan, Tamrin menyimpulkan bersenggama tanpa ikatan perkawinan adalah hal biasa bagi masyarakat Dayak, bahkan dianggap pembelajaran seks.
Kendati Tamrin meyakinkan majelis hakim, temuannya itu tak bisa digeneralisir, tetap mengail masalah pelik. Hasil penelitian yang belum diketahui metodologinya itu, terlalu sumir disimpulkan. Kenyataannya hingga kini, seks bebas bagi masyarakat Dayak masih tabu.
Bahkan, apabila dijumpai pria dan wanita yang belum menikah duduk berdekatan atau bermesraan di tempat sepi, bisa dikenakan hukum adat. Menjadi tanggungjawab Tamrin menjelaskan kredibilitas, presisi dan kesahian penelitiannya.
Kontradiksi Faktual
Apakah metode penelitian tentang kebiasaan bersenggama itu telah memenuhi syarat-syarat ilmu pengetahuan sosial, atau hanya tafsir? Tanpa mengecilkan karya Tamrin, faktanya hasil penelitian itu bertolak-belakang realitas empiris saat ini. Secara kultural, norma tabu tentang seks bebas masih dipegang teguh masyarakat Dayak.
Naif, jika terjadi distorsi norma tradisi Dayak hanya dalam tempo dua tahun, 1982-1983. Benar kata Tamrin, pernyataan senggama biasa akhirnya keluar konteks. Namun, seharusnya Tamrin cukup menjelaskan prinsip-prinsip dasar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara-bangsa yang diyakini meringankan Ariel tanpa unjuk contoh kontroversial itu.
Sebelum mengurai contoh kebiasaan senggama, Tamrin menekankan tiga nilai fundamental. Kemajemukan, toleransi dan penghormatan atas keunikan budaya. Pornografi dianggap terkait moral, dan yang berwenang memberi sanksi masyarakat, bukan negara.
Ariel pun tak bisa dijerat UU Pornografi, karena tidak memproduksi dan mendistribusikan video pornonya ke konsumen. Video porno Ariel untuk konsumsi sendiri, bukan kategori industri pornografi. Selain itu, UU Pornografi yang berlaku pada 2008, tak berlaku surut pada peristiwa video porno tahun 2006.
Tamrin terseret ke arena sensitif secara kultural, makanala diminta majelis hakim memberi contoh penjunjungan tiga nilai fundamental. Tamrin menunjuk kebiasaan senggama masyarakat Dayak Kalbar. Kita hormat integritas keilmuan Tamrin, bahkan tak mau dibayar saat bersaksi meringankan untuk Ariel.
Namun, Tamrin wajib punya wise, bijaksana saat mengeksplorasi nilai dan norma budaya. Jika penelitian sumir, seharusnya tak dijadikan "komoditas" contoh hanya untuk meringankan Ariel. Penelitian senggama dalam Budaya Dayak, lazimnya ada rujukan secara kultural.
Temuan kebiasaan senggama itu wajib dirujuk kepada pemuka adat Dayak yang notabene sebagai penjaga adat dan budaya. Naif, jika fakta-fakta verbal 10 ibu dijadikan temuan riset sosial.
Sangat tak sepadan "luka" martabat suku Dayak yang mengemban etika adi luhung hubungan terlarang pria dan wanita. Jiwa besar, kapabilitas dan reputasi keilmuan Tamrin kini jadi taruhan. Semoga nilai kebijaksanaan ilmuwan tak tergadaikan kepentingan sempit.
Permintaan maaf pakar sosiologi itu dilansir Sekjen Aksi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan melalui milis adatlist@yahoogroups.com. Intinya, Tamrin menilai pernyataannya di luar sidang kasus video porno Ariel "Peterpan," Kamis 30 Desember 2010, out of context.
Guru Besar FISIP Universitas Indonesia itu mengaku tak sempat menjelaskan secara detil, seperti saat menjadi saksi ahli meringankan di persidangan Ariel kepada pers. Penjelasan video porno Ariel yang tak meresahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia pun menimbulkan salah persepsi.
Pernyataan bahwa sebagian masyarakat dari 653 suku di Indonesia yang tak resah video porno, memantik masalah saat Tamrin memberi contoh Suku Dayak, Bali, Mentawai dan Papua Selatan. Contoh didasarkan hasil penelitian kualitatifnya saat menjadi konsultan Departemen Transmigrasi 1982-1983.
Berpijak wawancara mendalam terhadap 10 ibu berusia subur sebagai informan, Tamrin menyimpulkan bersenggama tanpa ikatan perkawinan adalah hal biasa bagi masyarakat Dayak, bahkan dianggap pembelajaran seks.
Kendati Tamrin meyakinkan majelis hakim, temuannya itu tak bisa digeneralisir, tetap mengail masalah pelik. Hasil penelitian yang belum diketahui metodologinya itu, terlalu sumir disimpulkan. Kenyataannya hingga kini, seks bebas bagi masyarakat Dayak masih tabu.
Bahkan, apabila dijumpai pria dan wanita yang belum menikah duduk berdekatan atau bermesraan di tempat sepi, bisa dikenakan hukum adat. Menjadi tanggungjawab Tamrin menjelaskan kredibilitas, presisi dan kesahian penelitiannya.
Kontradiksi Faktual
Apakah metode penelitian tentang kebiasaan bersenggama itu telah memenuhi syarat-syarat ilmu pengetahuan sosial, atau hanya tafsir? Tanpa mengecilkan karya Tamrin, faktanya hasil penelitian itu bertolak-belakang realitas empiris saat ini. Secara kultural, norma tabu tentang seks bebas masih dipegang teguh masyarakat Dayak.
Naif, jika terjadi distorsi norma tradisi Dayak hanya dalam tempo dua tahun, 1982-1983. Benar kata Tamrin, pernyataan senggama biasa akhirnya keluar konteks. Namun, seharusnya Tamrin cukup menjelaskan prinsip-prinsip dasar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara-bangsa yang diyakini meringankan Ariel tanpa unjuk contoh kontroversial itu.
Sebelum mengurai contoh kebiasaan senggama, Tamrin menekankan tiga nilai fundamental. Kemajemukan, toleransi dan penghormatan atas keunikan budaya. Pornografi dianggap terkait moral, dan yang berwenang memberi sanksi masyarakat, bukan negara.
Ariel pun tak bisa dijerat UU Pornografi, karena tidak memproduksi dan mendistribusikan video pornonya ke konsumen. Video porno Ariel untuk konsumsi sendiri, bukan kategori industri pornografi. Selain itu, UU Pornografi yang berlaku pada 2008, tak berlaku surut pada peristiwa video porno tahun 2006.
Tamrin terseret ke arena sensitif secara kultural, makanala diminta majelis hakim memberi contoh penjunjungan tiga nilai fundamental. Tamrin menunjuk kebiasaan senggama masyarakat Dayak Kalbar. Kita hormat integritas keilmuan Tamrin, bahkan tak mau dibayar saat bersaksi meringankan untuk Ariel.
Namun, Tamrin wajib punya wise, bijaksana saat mengeksplorasi nilai dan norma budaya. Jika penelitian sumir, seharusnya tak dijadikan "komoditas" contoh hanya untuk meringankan Ariel. Penelitian senggama dalam Budaya Dayak, lazimnya ada rujukan secara kultural.
Temuan kebiasaan senggama itu wajib dirujuk kepada pemuka adat Dayak yang notabene sebagai penjaga adat dan budaya. Naif, jika fakta-fakta verbal 10 ibu dijadikan temuan riset sosial.
Sangat tak sepadan "luka" martabat suku Dayak yang mengemban etika adi luhung hubungan terlarang pria dan wanita. Jiwa besar, kapabilitas dan reputasi keilmuan Tamrin kini jadi taruhan. Semoga nilai kebijaksanaan ilmuwan tak tergadaikan kepentingan sempit.
PONTIANAK, TRIBUN - Dewan Penasihat Dewan Adat Dayak (DAD) Kota Pontianak, Stefanus Paiman, mengaku menerima banyak telepon dan pesan singkat terkait pernyataan sosiolog Universitas Indonesia, Prof DR Thamrin Amal Tamagola, dalam persidangan kasus video asusila Nazriel Ilham atau Ariel Peterpan.
"Banyak masyarakat Dayak Sekadau, Singkawang, dan Bengkayang yang menghubungi saya. Mereka, seperti juga saya dan masyarakat Dayak pada umumnya, merasa dilecehkan dengan pernyataan Dr Thamrin," kata Paiman kepada Tribun, Kamis (6/1).
Ia menegaskan masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi nilai-nilai, norma, dan adat istiadat. Jika ketahuan ada pasangan yang berduaan di hutan atau tempat gelap, mereka akan kena hukum adat. Sebab persoalan ini sangat tabu bagi masyarakat Dayak.
"Karena itu, kalau memang ia pernah melakukan penelitian, harus diklarifikasi kapan waktunya, bagaimana mekanismenya, dan di daerah atau sub suku Dayak mana. Sebagai akademisi, ia harus berani mempertanggungjawabkan pernyataannya. Jangan asal ngomong," ujarnya.
Ia menambahkan kalau konteknya pornografi, dalam hal ini cara berpakaian mungkin ada benarnya. Sebab, masyarakat Papua hanya pakai koteka, masyarakat suku Sasak, Mentawai, Dayak, pakai kapuak atau celana dari kulit kayu. "Tapi itu dulu. Sama sekali tidak benar ada unsur seks bebas di sana," katanya.
Ia juga menegaskan, jika Dr Thamrin tidak segera merespon, masyarakat Dayak di daerah akan turun ke Pontianak mendatangi DPRD untuk menyampaikan aspirasinya. "Tapi, saya minta mereka jangan ke Pontianak dulu. Sebab teman-teman di Jakarta juga sedang minta penjelasan kepada yang bersangkutan," tegas Paiman.
Hal serupa dikatakan Wakil Forum Mahasiswa Kabupaten Landak (FMKL) Glorius Sanen yang datang di kantor Tribun Pontianak kemarin sore. "Kami merasa tersinggung dengan pernyataan Prof Thamrin. Sepengetahuan saya jangankan untuk seks bebas, laki-laki dan wanita berjalan malam hari ketahuan dikenakan hukum adat. Persoalan ini berharap yang memiliki kapasitas dalam hal ini DAD dapat mengambil sikap," ujarnya.
Ditegaskan jika Prof Thamrin tidak mampu menjelaskan, maka akan dikenakan hukum adat. "Kita meminta agar pihak-pihak tertentu tidak cepat mengeneralisasi suatu permasalahan. Jangan dibawa kemana-mana apalagi isu SARA," timpal Leo Komang, teman Glorius.
Di kesempatan terpisah pengurus DAD Kabupaten Ketapang, Chanisius Kuan, juga menyesalkan pernyataan Prof Thamrin tersebut. Hal itu dianggapnya sudah menyinggung harga diri, martabat, harkat suku Dayak.
Sedangkan Fubertus Ipur, satu di antara aktivis NGO di Kalbar menyayangkan pernyataan Dr Tamrin Amal Tomagola. "Pak Tamrin harus memperjelas dan mempertanggungjawabkan pernyataanya yang tendensius dan bisa memancing reaksi negatif dari kelompok etnik yang disebutkan," kata Ipur.
Dikatakan, kalau itu adalah hasil riset sudah tentu mesti dijelaskan secara lengkap dan jelas. "Tentu saja dia tahu bahwa misalnya pada etnik Dayak tidak hanya terdiri dari satu sub etnik. Jadi mestinya itu diperjelas. Saya pribadi menuntut Tamrin menjelaskan hal itu dan meminta maaf kepada khalayak ramai karena menyebutkan istilah etnik yang sangat besar," kata Ipur yang banyak bergerak dalam bidang pluralisme dan perdamaian.
Seperti diberitakan Thamrin hadir dalam sidang Ariel, Kamis 3 Desember 2010. Seusai memberikan keterangan sebagai saksi ahli, kepada wartawan Thamrin menyatakan, video porno dengan pemeran mirip Ariel tidak meresahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Menurutnya, sebagian masyarakat Indonesia menganggap hal itu biasa.
"Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks," katanya.
"Banyak masyarakat Dayak Sekadau, Singkawang, dan Bengkayang yang menghubungi saya. Mereka, seperti juga saya dan masyarakat Dayak pada umumnya, merasa dilecehkan dengan pernyataan Dr Thamrin," kata Paiman kepada Tribun, Kamis (6/1).
Ia menegaskan masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi nilai-nilai, norma, dan adat istiadat. Jika ketahuan ada pasangan yang berduaan di hutan atau tempat gelap, mereka akan kena hukum adat. Sebab persoalan ini sangat tabu bagi masyarakat Dayak.
"Karena itu, kalau memang ia pernah melakukan penelitian, harus diklarifikasi kapan waktunya, bagaimana mekanismenya, dan di daerah atau sub suku Dayak mana. Sebagai akademisi, ia harus berani mempertanggungjawabkan pernyataannya. Jangan asal ngomong," ujarnya.
Ia menambahkan kalau konteknya pornografi, dalam hal ini cara berpakaian mungkin ada benarnya. Sebab, masyarakat Papua hanya pakai koteka, masyarakat suku Sasak, Mentawai, Dayak, pakai kapuak atau celana dari kulit kayu. "Tapi itu dulu. Sama sekali tidak benar ada unsur seks bebas di sana," katanya.
Ia juga menegaskan, jika Dr Thamrin tidak segera merespon, masyarakat Dayak di daerah akan turun ke Pontianak mendatangi DPRD untuk menyampaikan aspirasinya. "Tapi, saya minta mereka jangan ke Pontianak dulu. Sebab teman-teman di Jakarta juga sedang minta penjelasan kepada yang bersangkutan," tegas Paiman.
Hal serupa dikatakan Wakil Forum Mahasiswa Kabupaten Landak (FMKL) Glorius Sanen yang datang di kantor Tribun Pontianak kemarin sore. "Kami merasa tersinggung dengan pernyataan Prof Thamrin. Sepengetahuan saya jangankan untuk seks bebas, laki-laki dan wanita berjalan malam hari ketahuan dikenakan hukum adat. Persoalan ini berharap yang memiliki kapasitas dalam hal ini DAD dapat mengambil sikap," ujarnya.
Ditegaskan jika Prof Thamrin tidak mampu menjelaskan, maka akan dikenakan hukum adat. "Kita meminta agar pihak-pihak tertentu tidak cepat mengeneralisasi suatu permasalahan. Jangan dibawa kemana-mana apalagi isu SARA," timpal Leo Komang, teman Glorius.
Di kesempatan terpisah pengurus DAD Kabupaten Ketapang, Chanisius Kuan, juga menyesalkan pernyataan Prof Thamrin tersebut. Hal itu dianggapnya sudah menyinggung harga diri, martabat, harkat suku Dayak.
Sedangkan Fubertus Ipur, satu di antara aktivis NGO di Kalbar menyayangkan pernyataan Dr Tamrin Amal Tomagola. "Pak Tamrin harus memperjelas dan mempertanggungjawabkan pernyataanya yang tendensius dan bisa memancing reaksi negatif dari kelompok etnik yang disebutkan," kata Ipur.
Dikatakan, kalau itu adalah hasil riset sudah tentu mesti dijelaskan secara lengkap dan jelas. "Tentu saja dia tahu bahwa misalnya pada etnik Dayak tidak hanya terdiri dari satu sub etnik. Jadi mestinya itu diperjelas. Saya pribadi menuntut Tamrin menjelaskan hal itu dan meminta maaf kepada khalayak ramai karena menyebutkan istilah etnik yang sangat besar," kata Ipur yang banyak bergerak dalam bidang pluralisme dan perdamaian.
Seperti diberitakan Thamrin hadir dalam sidang Ariel, Kamis 3 Desember 2010. Seusai memberikan keterangan sebagai saksi ahli, kepada wartawan Thamrin menyatakan, video porno dengan pemeran mirip Ariel tidak meresahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Menurutnya, sebagian masyarakat Indonesia menganggap hal itu biasa.
"Dari hasil penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks," katanya.
SOURCE:::::::::::::::::::::::::::::::::::::pontianak.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar