Sabtu, 18 Desember 2010

100 Tahun Pemerintahan Lanun Tionghoa di Sukadana Misteri yang Belum Terpecahkan

Peneliti sejarah sedang berada di kompleks kuburan Tionghoa di lereng
Gunung Palung Sukadana. (FOTO: Kamiriludin/Equator)



SUKADANA. Data yang terhimpun ini dikutip dari buku-buku kolonial Eropa (lebih banyak versi Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris,) Tiongkok kuno, dan Jepang kuno. Orang Lanun (Ilanun atau Iranun) adalah suku bangsa yang berasal dari wilayah Filipina Selatan.

Suku bangsa Lanun terkenal sebagai bajak laut yang ditakuti di perairan Asia Tenggara pada abad ke-17 hingga 19. Orang Lanun seasal dengan suku Maranau yang bertempat tinggal di tengah pulau Mindanao (Filipina Selatan).

Kata Lanun berasal dari bahasa Mangindao, I-lanao-en, yang berarti "orang danau", yaitu danau Lanao yang berada di tengah pulau Mindanao. Dalam bahasa Indonesia-Malaysia kata lanun menjadi sinonim dengan bajak laut, tanpa menghubungkannya kembali dengan suku bangsa Lanun.

Di Indonesia termasyhur Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau. Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup "berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan.

Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Imperium Majapahit, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan itu, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah itu.
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut" karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu.

Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-Riau pelan-pelan digantikan oleh suku Bugis.

Orang lanun mendapat kehormatan di Filipina Selatan, sehingga berdirilah Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan.
Sekitar era 1450-an, seorang Arab dari Johor yaitu Shari'ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Pada tahun 1457, ia mengakomodir kekuatan perantau laut dan mendirikan Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari" bermaksud Yang Dipertuan.

Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga negeri Sabah (Malaysia modern sekarang).

Dalam Kakawin Nagarakertagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.

Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan Sabah Timur (sekarang Malaysia) kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei.

Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan (sekarang Filipina) kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.

Kesultanan Maguindanao adalah sebuah pemerintahan Melayu Islam yang memerintah sebagian Mindanao di Filipina selatan. Pengaruh kesultanan ini berkembang dari semenanjung Zamboanga ke teluk Sarangani. Di masa keemasannya, kesultanan ini memerintah seluruh Mindanao dan juga pulau-pulau yang berdekatan.

Sebelumnya, Shariff Mohammed Kabungsuwan dari Johor memperkenalkan agama Islam di tanah ini pada abad ke-12. Ia kemudian menikah dengan puteri setempat dan mendirikan Kesultanan Maguindanao dimulai sekitar tahun 1203 hingga 1205. Kesultanan ini pada mulanya beribukota di kawasan Cotabato. Kesultanan ini jatuh ke tangan Kerajaan Spanyol dan akhirnya menjadi sebagian dari Filipina.

Sebenarnya, perompakan sudah lama berlangsung di perairan Asia Tenggara. Selama abad ke-19 Selat Malaka telah lama menjadi jalur laut penting bagi kapal-kapal yang berlayar dari India dan dari Atas Angin ke Tiongkok.

Jadi perompak tradisional di Asia Tenggara adalah Orang Laut, atau disebut juga lanun. Mereka bermukim di perkampungan pesisir negara Malaysia, Indonesia, dan Filipina modern.
Bajak laut Tionghoa juga ditemukan dalam jumlah berarti, biasanya orang-orang terbuang dari masyarakat Tiongkok pada masa dinasti Qing (1644-1911 Masehi). Alasannya dinasti ini didirikan suku dari kawasan Manchuria (di atas Korea sampai Vladivostik Rusia modern sekarang), bukan suku Han, mayoritas warga Tiongkok.
Mereka menemukan relung dengan memangsa kapal-kapal yang berdagang di Laut Tiongkok Selatan dengan menggunakan Kapal Jung. Perompakan juga dapat dilihat sebagai bentuk peperangan yang dilakukan penduduk asli untuk melawan pengaruh Eropa, yang merusak tatanan tradisional masyarakat pedagang di Asia Tenggara.

Kenapa para perompak laut dari berbagai suku bangsa bisa bersatu di Asia Tenggara? Jawabannya melawan kemapanan yang dikuasai penguasa lokal maupun asing yang sering memperbudak nelayan-nelayan kecil.

Menurut catatan Belanda, sebelum menyerang kota Sukadana di awal abad 19 dari pangkalan angkatan laut Siak-Riau, menulis kalau selama seratus tahun terdapat pemerintahan lanun (tepatnya untuk kasus ini bajak laut) dari berbagai suku bangsa. Sukadana terlindungi oleh pemerintahan lanun lainnya di Pulau Maya dan Karimata.
Posisi Sukadana yang ada di antara Pontianak dan Ketapang, posisi strategis untuk mengganggu kapal-kapal perniagaan di pesisir Kalbar. Sehingga armada Belanda perlu menghancurkan pemerintahan lanun di Sukadana.

Kenapa terjadi kekosongan pemerintahan di Sukadana selama seratus tahun? Alasannya Kerajaan Tanjungpura sering berpindah-pindah tempat karena perang antarpewaris takhta dan gangguan lanun. Seringnya berpindah ibukota itu terjadi dimulai masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin.

Intelijen Belanda menemukan kasus, kalau bajak laut yang bermastautin (bermukim) itu bersuku Tionghoa perantauan, bahkan sampai pekerja-pekerjanya. Suku-suku lain, seperti suku Laut (Melayu kepaulauan), Bugis, dan lain-lain jumlahnya tidak sebanyak Tionghoa.

Sekitar 1822 armada Belanda berhasil menghancurkan 100 tahun lebih pemerintahan bajak laut di Sukadana, dan didirikanlah Kerajaan Sukadana yang bercorak Melayu. Ketika tentara Jepang menguasai ibukota Kerajaan Sukadana tahun 1942, penguasanya bernama Tengku Betung.

Misteri ini masih menyisakan tanda tanya dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Catatan intelijen Belanda sebelum penyerangan Sukadana, menerangkan kalau pemerintahan bajak laut yang didominasi dari perantauan Tiongkok di Sukadana, mengangkat pemimpin karena kepandaiannya dan dipilih rakyatnya langsung bukan berdasarkan keturunan (dinasti).

Akan tetapi kalau meneliti jejak rekam warga perantauan Tionghoa di Sukadana (khususnya sebelum hari penyerangan Sukadana), sudah punah. Warga Tionghoa perantauan di Sukadana yang ada sekarang, sebagaimana penelitian di makam Tionghoa di lereng Gunung Palung, kebanyakan perantau di awal abad 20. (mah/Qq)

SOURCE:::::::::::::::::::::::::::::::::::::equator-news.com/index.php?mib=berita.detail&id=23079

JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fashion & Shopping (Luxury) - TOP.ORG