Sabtu, 30 Oktober 2010

Bayi Selamat dari Tsunami Mentawai

PUTRICANDRAMIDI - TUAPEJAT - Korban gempa 7,2 skala Richter (SR) yang diikuti tsunami di Kepulauan Mentawai pada Senin lalu (25/10) memang terus bertambah. Tetapi, dua bayi asal Muntei Baru-Baru, Pagai Utara, selamat. Keduanya secara ajaib mampu bertahan dari sapuan gelombang laut. Salah seorang bayi tersebut dirawat di Puskesmas Sikakap, Pagai Utara. Bocah mungil itu pun menjadi perhatian warga, terutama kaum wanita. Kamis malam lalu (28/10) salah satu ruang puskesmas itu penuh sesak oleh perempuan paro baya. Di pojok ruang berukuran 4 x 4 meter, sang bayi terlelap dalam inkubator..


YATIM PIATU: Immanuel Tegar Bayi laki laki berumur 3minggu yang ditemukan diselokan di kawasan Montei Baru baru kini dirawat di Puskesmas Sikakap Mentawai, Seluruh keluarganya meninggal dalam bencana Tsunami di Mentawai.--RAKA DENNY/JAWAPOS

Bayi itu menjadi satu-satunya anggota keluarga yang selamat ketika tsunami menyapu rumahnya di Muntei Baru-Baru. Dia bertahan, tetapi orang tua serta semua kerabat dan familinya hilang ditelan tsunami. Bahkan, desa asalnya yang berpenduduk sekitar 300 orang itu hancur. "Kami kehabisan kata-kata. Ini mukjizat," tutur Kepala Puskesmas Sikakap Marinus, 46, kepada Jawa Pos sambil mengamati sang bayi. Saat ditemukan, bayi tanpa nama tersebut tergolek lemah. Bahkan, pusarnya masih basah dan belum terlepas. Petugas medis memperkirakan bayi laki-laki itu berusia kurang dari sebulan. Sejumlah luka yang mulai mengering terlihat pada wajahnya yang putih. Marinus lantas menceritakan, pada Rabu malam (28/10) seorang ibu korban tsunami menyerahkan bayi itu kepada petugas. Saat diserahkan, kondisi sang bayi sangat lemah. "Waktu itu kami tidak yakin bayi ini bisa bertahan," kata Marinus.

Hal itu beralasan. Sebab, bayi yang belum genap sebulan tersebut baru tertangani tim medis setelah lebih dari 24 jam bertahan tanpa mengonsumsi apa pun. Bahkan, ketika tiba, bayi itu sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Malam ketika tsunami menerjang, sebagian warga lari menyelamatkan diri. Ketika itu, dua kali ombak tsunami menerjang. Saat ombak kedua setinggi 15 meter menerjang, seorang warga mendengar tangis bayi. Sang bayi ditemukan terbaring di antara kayu dan sampah sisa rumah-rumah penduduk. Melihat bayi itu masih hidup, warga tadi menggendongnya menuju ke dataran tinggi. Secara bergantian, warga menyuapi bayi tersebut dengan air sisa hujan agar bertahan hidup.

Pada Selasa pagi (26/10), warga keluar dari pengungsian di dataran tinggi dan menyerahkan bayi itu kepada tim medis untuk mendapatkan perawatan. "Waktu itu kami langsung memberikan infus dan cairan susu formula. Beruntung, dia bertahan dan kondisinya membaik," tutur Marinus Sejumlah warga menawarkan diri untuk merawat dan mengadopsi bayi itu ketika berada di puskesmas. Beberapa pejabat yang datang ke lokasi bencana saat mendampingi kunjungan Presiden SBY Kamis lalu juga tertarik untuk mengadopsi bayi tersebut. "Tetapi, tidak kami setujui," kata Lesmono Basuki, anggota tim medis dari Dinas Kesehatan (dinkes) Mentawai. "Ini anak orang banyak. Jadi, kami belum putuskan apakah dia boleh diadopsi atau tidak," tambahnya. Kemarin (29/10) tim medis sepakat menamai bayi itu Immanuel Tegar. Menurut Marinus, nama itu diambil berdasar kekuatan dan ketegaran sang bayi melewati masa-masa sulit. Hingga kini, tidak ada sorang pun warga yang diperbolehkan merawat. "Kalau bayi ini dilepas, kami takut tidak selamat. Dia masih membutuh perawatan intensif," ujar Lesmono.

Kisah Tegar hampir serupa dengan yang dialami bayi lain. Bayi laki-laki putra pasangan Rantinus, 36, dan Sarni, 25, juga belum diberikan nama. Bayi itu selamat berkat sang kakak, Dernikus, 3. Nyawanya ditukar nyawa sang kakak yang meninggal dalam upaya menyelamatkan dirinya. Pasangan suami-istri Rantinus dan Sarni memiliki empat anak. Yakni, Ralminus, 8; Surni, 7; Dernikus, 3; dan seorang bayi berusia 3 bulan. Ketika tsunami menerjang rumahnya di Muntei Baru-Baru, Rantinus dan Sarni menyelamatkan diri ke tempat lebih tinggi. Mereka selamat dari gelombang laut pertama. Tetapi, rumah mereka dan seluruh isinya musnah. Ketika datang gelombang kedua, Sarni yang saat itu lari sambil menggendong Dernikus dan bayinya terjatuh. Dua putranya tersebut terlepas dan hilang disapu ombak. Belakangan, anak sulungnya selamat setelah meloloskan diri dan berlari terpisah dengan sang ibu. Namun, tiga adiknya terlepas. Hanya, Rantinus, Sarni, dan anak sulung mereka yang lolos.

Mereka bertahan dengan memakan daun-daunan di antara semak belukar. "Kalau tidak, kami mungkin mati kedinginan dan kelaparan," kata Rantinus di penampungan korban tsunami di Gereja Sikakap. Esok paginya mereka turun ke perkampungan. Ketiganya mengelilingi dusun dan mencari sisa-sisa barang di antara puing rumah mereka. Hingga malam tiba, tiga anggota keluarga Rantinus bertahan dengan belasan warga lainnya. Mereka hanya makan kelapa, daun pakis, dan ikan yang terbawa arus laut. "Saya hanya bisa menangis karena tiga anak saya hilang tak jelas rimbanya," cerita Sarni. Setelah dua hari mereka bertahan, Rabu lalu tim relawan mulai datang dan melakukan evakuasi. Saat evakuasi itulah, tanpa diduga Sarni bertemu lagi dengan dua anaknya, yakni Dernikus dan adiknya (bayi laki-laki). "Saya kaget. Ternyata mereka juga bersembunyi di hutan dan baru kembali ke kampung setelah dua malam," tutur Sarni sambil terisak.

Ketika ditemukan, kondisi dua bocah itu lemah dan mengalami dehidrasi. Belum sempat dievakuasi, Dernikus meninggal di pelukan sang ayah. Anak ketiga Rantinus-Sarni itu diduga memeluk sang adik semalaman untuk menjaganya tetap hangat di dalam hutan. Dia meninggal dalam upaya menyelamatkan nyawa adiknya yang baru berusia tiga bulan. Kehilangan anak dalam waktu yang berdekatan membuat kondisi kesehatan Sarni terus menurun. Matanya terlihat sembab menahan duka. Sambil terbaring di puskesmas, infus terpasang di tangan kanan. Luka di tubuhnya akibat tsunami belum kering. Dia masih kesakitan. "Hati saya tersayat-sayat. Entah apa lagi yang harus dikata," katanya lirih. Berbeda dengan sang istri, Rantinus bisa menahan diri agar tidak larut dalam kesedihan. Walau berkali-kali air matanya menetes, dia tidak mau menangis di depan istri dan dua anaknya yang tersisa. "Kami beruntung bisa tetap bernyawa. Itu lebih penting untuk disyukuri ketimbang bersedih," ujarnya.

SOURCE:::::::::::::::::::::::::::::::::::::www.pontianakpost.com

BOCAH 4 TAHUN SELAMAT

TEMPO Interaktif, Padang: Seorang bocah berusia empat tahun selamat dari gelombang tsunami yang melanda Kepulaun Mentawai. Bocah bernama Andripal Samaloisa itu terombang-ambing di laut selama empat hari hanya dengan berpegangan pada sepotong styrofoam.

“Ia terapung di atas streofoam bersama sebuah durian yang sama sekali tak disentuh, ia hanya luka-luka, tapi neneknya hilang, ia ditemukan dalam kondisi kebingungan,” kata Jan Winnen Sipayung, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Mentawai, Jumat (29/10).

Menurut Jan, bocah itu ditemukan hari Kamis (28/10). Sebelum tsunami, Andrial tinggal bersama neneknya di Dusun Sabaugunggung, Desa Betumonga, Pagai Utara. Saat tsunami datang, dia terpisah dengan neneknya.

Selain Andrial, ada lagi seorang bocah 6 tahun yang selamat meski mengalami luka-luka. Bocah yang belum diketahui namanya ini tinggal di di Muntei Baru-Baru, Desa Batumonga, Pagai Utaram. Dia ditemukan tersangkut di akar batang pohon kelapa di bukit, sekitar 800 meter dari pantai, sehari setelah tsunami.

Di duga, bocah ini terseret gelombang tsunami setinggi lebih 15 meter yang menyapu habis dusunnya. Gelombang tsunami membawa tubuh bocah itu hingga ke punggung bukit. Saat air surut, tubuhnya tersangkut di akar pohon



JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fashion & Shopping (Luxury) - TOP.ORG